Sabtu, 27 Februari 2016
perenang hebat asal kuanheun
perenang hebat asal kuanheun
Lomba renang massal ini dilakukan dalam rangka memeriahkan HUT-65 Marinir
oleh : Ameth. pontas tano
28 februari 2016
28 februari 2016
Sebanyak 133 perenang dari berbagai umur mengikuti lomba renang menyeberangi Selat Semau 2010 yang digelar Korps Marinir Pangkalan VII Angkatan Laut (AL) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu 13 November 2010.
Lintasan renang melalui laut lepas sepanjang 4 mill laut ini mengambil garis star dari pantai Hansisi, Pulau Semau dan Finish di Dermaga Navigasi, Tenau Kupang, di ujung barat Pulau Timor. Peserta renang terdiri dari Marinir, Polisi Perairan (Polair) dan Masyarakat Umum.
Lomba renang yang diketuai oleh Komandan Marinir Kupang, Letkol Marinir Wira Gantoro, dilepas oleh Gubernur NTT, Frans Lebu Raya pukul 09:25 Wita yang ditandai dengan tembakan ke udara dari atas sebuah armada Patroli TNI AL Kupang.
Komandan Marinir Kupang, Gontoro, mengatakan lomba renang massal ini dilakukan dalam rangka memeriahkan HUT-65 Marinir yang jatuh pada 15 November mendatang.
"Perlombaan menyeberangi selat ini merupakan yang pertama kali digelar di Kupang. Kami berharap kegiatan ini bisa menjadi lomba tahunan yang bisa menjadi potensi wisata," katanya.
Menurut Gantoro, perlombaan melintasi selat tersebut baru pertama kali digelar di Kupang, dan selanjutnya akan menjadi ajang tahunan.
Dengan kondisi tubuh yang cukup lelah Prajurit Satu (Pratu) Marinir Yudi Prasetia keluar sebagai pemenang pertama dengan catatan waktu 1.37 menit, urutan kedua Brigadir satu Polisi I Gede Putera dengan catatan waktu 1.39 menit, sedangkan diurutan ketiga Brigadir Polisi Suherman dengan catatan waktu 1.43 menit.
Sedangkan untuk kategori mayarakat umum juara pertama diraih oleh Simon Lakona asal Desa Kuanheun, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang dengan catatan waktu 1,47 menit. Para juara renang Selat Semau ini mendapatkan hadiah uang pembinaan, trophy dan hadiah hiburan lainnya.
copy ju dar senior blog
akmully bacarita
28 februari 2016/copian 8 februari 2014
![](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_tnozvYMYcX96bN55bTKuDz_hIM70mnCSOnGEgpPwlBxAq-wiD0HQcGeJ6p_n6p5F_m0J7Je5xuA9hYFx3cVZEugaVjLNMnzVoxu7iOhJJX1mZaMJi_YQSaCaClYJYLBARGpZ7ALCgYc5wB0VN1xQojYfyhGveif4QwsfuuN2J8R2vuyCGS8w=s0-d)
Laut Sawu tampak tidak bersahabat saat musim barat datang tahun ini. Pasang tinggi, lengkap dengan gelombang besar, ikut melanda Pantai Eno Loles, Desa Kuanheun, Kecamatan Kupang Barat, NTT, Jumat (17/1) siang.
Seharusnya ini bulan-bulan panen di perairan Kuanheun, berdasarkan kearifan lokal lilifuk yang dianut masyarakat setempat sejak dekade 1970. Secara harfiah, lilifuk berarti kolam besar. Menurut aturan lilifuk, masyarakat hanya diperbolehkan mengambil hasil laut dua kali dalam setahun. Yakni pada awal atau akhir tahun dan saat pertengahan tahun.
Area lilifuk di Desa Kuanheun. Foto: Ratih Rimayant/copian amito tano
Setahun belakangan, lilifuk naik menjadi salah satu pasal dalam Perdes Kuanheun Nomor 1/2012 tentang perlindungan sumber daya laut. Ketika pemanfaatan laut mulai tidak ramah lagi – penggunaan bom, pukat garu, racun ikan, dan penambangan pasir tanpa izin marak di pesisir Kuanheun – masyarakat menilai kearifan lokal warisan Suku Baineo dapat menyelamatkan perairan mereka.
Perdes mengartikan lilifuk sebagai kolam besar yang dipenuhi lamun, perairan yang sarat ikan lada dan ikan dusung. Kalau surut, kolam besar tersebut tampak, dengan kedalaman maksimum 5 meter. Jenis sumber daya laut yang dilindungi Perdes mencakup seluruh biota dalam area lilifuk – zona kearifan lokal seluas 2 hektare di sekitar Pantai Eno Loles. Mencakup terumbu karang, padang lamun, mangrove, teripang, dan pasir laut. Masyarakat diperbolehkan melakukan budidaya dengan rumput laut dan alga, asal sudah memperoleh izin dan taat pada kesepakatan ukuran keramba.
Panen pertama
Panen raya pertama sejak berlaku Perdes telah dilakukan pada 4 Januari. Hari itu, setiap warga yang masuk ke area lilifuk dan mengambil hasil laut dikenai tarif masuk Rp 5.000. Uang yang terkumpul selanjutnya disisihkan untuk pendapatan desa, penduduk suku Baineo, dan untuk membayar pengawas di area lilifuk.
Kepala Suku Baineo, Edward Baineo, mengaku gembira dengan hasil panen raya pertama itu. “Masyarakat juga, mereka puas. Artinya kita panen.” Edward mengatakan, sejak lilifuk ditetapkan dalam Perdes, masyarakat lebih berhati-hati dalam mengambil hasil laut. Sanksi terhadap pelanggaran perdes berupa denda uang, beras, ternak babi, dan sanksi sosial. Denda untuk penggunaan pukat garu di area lilifuk sebesar Rp 500.000. Sedangkan, pemakain racun di perairan desa dendanya sebesar Rp 50 juta.
“Kemarin masih banyak yang bolong-bolong. Warga melakukan pelanggaran, tapi belum ada yang dikenakan sanksi karena Perdes baru berlaku,” kata Tarsius. Sanksi tegas, kata dia, akan benar-benar diterapkan mulai Juni, setelah sosialisasi Perdes selesai.
Kembali merawat laut dengan kearifan lokal lilifuk di Desa Kuanheun tak cuma menandai tradisi yang naik menjadi Perdes. Pemberlakuan lilifuk juga menandai diberlakukannya sistem zonasi dalam kawasan Taman Nasional Laut Sawu. Sistem tersebut membagi perairan Sawu di NTT ke dalam zona inti, pemanfaatan pariwisata perairan, perikanan berkelanjutan umum, perikanan berkelanjutan tradisional, kearifan lokal, dan perlindungan setasea. Amito tano/copian dari senior blog
Laut Sawu tampak tidak bersahabat saat musim barat datang tahun ini. Pasang tinggi, lengkap dengan gelombang besar, ikut melanda Pantai Eno Loles, Desa Kuanheun, Kecamatan Kupang Barat, NTT, Jumat (17/1) siang.
Seharusnya ini bulan-bulan panen di perairan Kuanheun, berdasarkan kearifan lokal lilifuk yang dianut masyarakat setempat sejak dekade 1970. Secara harfiah, lilifuk berarti kolam besar. Menurut aturan lilifuk, masyarakat hanya diperbolehkan mengambil hasil laut dua kali dalam setahun. Yakni pada awal atau akhir tahun dan saat pertengahan tahun.
Area lilifuk di Desa Kuanheun. Foto: Ratih Rimayanti
“Kearifan lokal ini penurunan Suku Baineo, penduduk asli Kuanheun,”
demikian Median Senu, sekretaris Desa Kuanheun, di tengah kunjungan
lapangan Workshop Jurnalisme Kelautan SIEJ dan The Nature Conservancy
(TNC).Setahun belakangan, lilifuk naik menjadi salah satu pasal dalam Perdes Kuanheun Nomor 1/2012 tentang perlindungan sumber daya laut. Ketika pemanfaatan laut mulai tidak ramah lagi – penggunaan bom, pukat garu, racun ikan, dan penambangan pasir tanpa izin marak di pesisir Kuanheun – masyarakat menilai kearifan lokal warisan Suku Baineo dapat menyelamatkan perairan mereka.
Perdes mengartikan lilifuk sebagai kolam besar yang dipenuhi lamun, perairan yang sarat ikan lada dan ikan dusung. Kalau surut, kolam besar tersebut tampak, dengan kedalaman maksimum 5 meter. Jenis sumber daya laut yang dilindungi Perdes mencakup seluruh biota dalam area lilifuk – zona kearifan lokal seluas 2 hektare di sekitar Pantai Eno Loles. Mencakup terumbu karang, padang lamun, mangrove, teripang, dan pasir laut. Masyarakat diperbolehkan melakukan budidaya dengan rumput laut dan alga, asal sudah memperoleh izin dan taat pada kesepakatan ukuran keramba.
Panen pertama
Panen raya pertama sejak berlaku Perdes telah dilakukan pada 4 Januari. Hari itu, setiap warga yang masuk ke area lilifuk dan mengambil hasil laut dikenai tarif masuk Rp 5.000. Uang yang terkumpul selanjutnya disisihkan untuk pendapatan desa, penduduk suku Baineo, dan untuk membayar pengawas di area lilifuk.
Kepala Suku Baineo, Edward Baineo, mengaku gembira dengan hasil panen raya pertama itu. “Masyarakat juga, mereka puas. Artinya kita panen.” Edward mengatakan, sejak lilifuk ditetapkan dalam Perdes, masyarakat lebih berhati-hati dalam mengambil hasil laut. Sanksi terhadap pelanggaran perdes berupa denda uang, beras, ternak babi, dan sanksi sosial. Denda untuk penggunaan pukat garu di area lilifuk sebesar Rp 500.000. Sedangkan, pemakain racun di perairan desa dendanya sebesar Rp 50 juta.
“Kemarin masih banyak yang bolong-bolong. Warga melakukan pelanggaran, tapi belum ada yang dikenakan sanksi karena Perdes baru berlaku,” kata Tarsius. Sanksi tegas, kata dia, akan benar-benar diterapkan mulai Juni, setelah sosialisasi Perdes selesai.
Kembali merawat laut dengan kearifan lokal lilifuk di Desa Kuanheun tak cuma menandai tradisi yang naik menjadi Perdes. Pemberlakuan lilifuk juga menandai diberlakukannya sistem zonasi dalam kawasan Taman Nasional Laut Sawu. Sistem tersebut membagi perairan Sawu di NTT ke dalam zona inti, pemanfaatan pariwisata perairan, perikanan berkelanjutan umum, perikanan berkelanjutan tradisional, kearifan lokal, dan perlindungan setasea. Amito tano/copian dari senior blog
Langganan:
Postingan (Atom)